ARSIP REFLEKSI

(17)
Pemimpin
Berbudaya Timur
25 April 1999


Kertas yang kosong
untuk kepala yang kosong
dan janji yang kosong


Kata-kata itu tertera di sebuah kertas suara di Uusima, satu dari 15 wilayah pemilihan dalam Pemilu Parlemen Finlandia, 21 Maret 1999 lalu. Ia tertera di salah satu kertas suara yang bertumpuk bersama dengan kartu suara lain yang tidak sah karena pemilih tidak menulis nomor kandidat anggota parlemen di kertas itu. Sang pemilih justru melakukan protes dengan menuliskan kata-kata di atas, boleh jadi lantaran ia tak tahu isi kepala dan tak percaya janji kosong para kandidat.

Apa yang bisa kita pelajari dari soal yang kelihatan remeh temeh itu? Jawabnya: Setiap orang bebas memilih wakil mereka di parlemen dengan rasional. Ketika yang didapati sang pemilih adalah ''kepala yang kosong dan janji yang kosong'', ia leluasa untuk tak menentukan pilihannya.                                                           
Soal remeh temeh itu pun memberi pelajaran lanjutan lain: Rakyat berhak tahu dulu isi kepala dan dan menakar dulu janji seorang calon pemimpin sebelum memutuskan pilihannya. Rakyat tak boleh dipaksa membeli kucing dalam karung. Pemimpin tak berhak meminta cek kosong dari rakyat. Itulah pelajaran Finlandia, sebuah negara Skandinavia yang makmur dengan kualitas demokrasi yang teruji, nun di utara Eropa sana. Apakah itu pelajaran tentang budaya utara atau budaya barat, dan bukan timur? Menurut saya, bukan.                                                  
Pelajaran Finlandia yang saya temukan ketika ikut meninjau pemilu di sana itu adalah pelajaran universal tentang kaidah elementer demokrasi. Bahwa pemilihan pemimpin mestinya dilakukan melalui mekanisme rasional. Para calon pemimpin harus memiliki kesediaan mengungkapkan gagasan-gagasannya -- tentu jika ia punya -- di depan publik. Publik berhak menilai kelayakan gagasan-gagasan itu sekaligus menakar seberapa layak pula sang calon pemimpin diberi kepercayaan    menahkodai bangsanya. Dan ini bukan soal budaya timur, barat, utara, selatan, barat daya, tenggara atau budaya arah angin manapun.

Tak relevan mempersoalkan arah angin di situ. Persoalannya, kita harus mengakhiri periode kepemimpinan sopir bajaj ketika pemimpin sangat sok tahu dan tidak merasa punya tanggung jawab untuk bercerita kepada rakyat apa yang hendak ia perbuat. Pemimpin hanya duduk manis tak bergeming di atas singasananya dan sangat hemat-pelit menyampaikan isi pikirannya. Pemimpin seperti itu tak ubahnya sopir bajaj yang seenaknya membawa penumpang -- naik ke trotoar, berbelok mendadak, berbalik arah melawan arus jalan, melabrak lampu merah, menyerempet   orang di pasar -- tanpa memberi sinyal dan sedikit pun rasa tanggung jawab.                                                                
Sudahlah. Kita akhiri model kepemimpinan seperti itu. Benar - seperti cerita Clifford Geertz ketika menjelaskan konsep Theatre State (Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali, 1980)-- pemimpin semacam itu bisa kelihatan sakral, kharismatik, dan  membuat bulu kuduk orang berdiri. Namun celakanya, seperti telah dibuktikan Orde Baru, justru pemimpin seperti itulah yang efektif untuk proyek pembodohan rakyat dan penguatan otoritarianisme.         
Jadi -- jika Anda belum puas juga -- apakah perdebatan publik di antara calon pemimpin merupakan pelanggarran atas budaya ketimuran? Jika Megawati Soekarno Putri yang diminta menjawab pertanyaan ini, jawabannya jelas: Ya, merupakan pelanggaran.                          
Jawaban itu saya tahu sebab ketika diundang ikut serta debat antarcalon presiden oleh Forum Salemba di Universtas Indonesia, Megawati menolak hadir. Berdebat di muka umum, menurut Megawati - dan tentu saja PDI Perjuangan -- tak sesuai dengan budaya timur. Selain itu, berdebat di muka umum, menurut mereka tak diatur oleh satupun aturan perundang-undangan.                                            
Sebagai warga negara terus terang saja saya sangat sedih mendengar dua alasan itu. Saya tak habis mengerti bagaimana mungkin ''budaya timur'' dan ''aturan perundangan'' bisa ditafsirkan semena-mena seperti itu. Yang saya tahu, ketika sejumlah perempuan dipaksa membuka kaosnya -- apapun warna dan gambar di kaos itu -- menjadi setengah telanjang, itulah pelanggaran budaya timur dan aturan perundangan yang sangat serius.                                                               
Saya sedih, bagaimana mungkin seorang tokoh publik -- yang konon memiliki kans besar untuk menjadi presiden -- justru sangat hemat mengungkapkan gagasan-gagasannya di depan publik dan menolak mendiskusikan gagasan-gagasan itu secara rendah hati. Bagaimana mungkin rakyat akan bisa membuat pilihan rasional atas para calon pemimpin mereka.                                                      
Saya juga sedih bahwa tokoh-tokoh publik semacam itu dimanjakan oleh publik sendiri, termasuk oleh media massa. Saya sedih bahwa diam-diam masih banyak orang yang bersedia membeli kucing dalam karung bahkan dalam kotak kayu tebal yang terkunci. Saya sedih diam-diam masih banyak orang yang bersedia memberi cek kosong pada calon-calon pemimpin padahal rekening mereka sudah semakin tipis termakan krisis politik dan ekonomi.                                                  
Dan juga saya sedih mengingat sebuah pepatah Inggris: People will get the government they deserve. Rakyat akan memiliki pemimpin yang memang layak untuk mereka. Dengan rakyat yang mau membeli kucing dalam karung, maka yang akan terbeli memang “kucing dalam karung yang hanya terdengar bisa berteriak merdeka”; bukan yang terbukti meneladani dan memimpin reformasi.                     
Di tengah kesedihan itulah ''datang'' Benhard Dahm kepada saya membawa hasil penelitiannya, “Kepemimpinan dan Reaksi Massa di Jawa, Birma, dan Vietnam” (1986). Otoritarianisme, kata Dahm, memang bisa terus berlanjut di satu tempat manakala rakyat dan pemimpin kompak membangun model daulat raja bukan daulat rakyat.  
Mudah-mudahan cerita sedih Dahm tidak benar-benar terjadi di Indonesia hari-hari ini dan esok. Dan untuk itu, kita butuh pemimpin yang penuh budaya ketimuran: rendah hati berhadapan dengan rakyat; mau menyapa rakyat dengan rencana masa depan yang masuk akal dan boleh diperdebatkan.