ARSIP REFLEKSI

(28)
Menteri Muhaimin Yth
26 Desember 1999


Pak Yahya Muhaimin, Mendiknas Yth.

Melalui surat ini saya tidak akan memberikan ucapan selamat atas pengangkatan bapak sebagai menteri pendidikan nasional, karena saya sudah melakukannya ketika kita bertemu di kantor bapak beberapa jam setelah bapak dilantik, akhir Oktober lampau. Melalui surat ini, saya hanya ingin mengutarakan kesan saya tentang sekolah, institusi yang bapak urusi dalam Kabinet Abdurrahman Wahid sekarang.

Bagi saya mengingat sekolah adalah mengingat para guru yang bersahaja yang sungguh besar jasanya untuk membuat saya tahu dunia dari mulai a-ba-ta. Mereka memberikan sangat banyak bagi kami, tetapi tak juga memperoleh imbalan sosial dan material yang cukup dari kita semua. Kadang-kadang, ketika saya sesekali berpikir tentang surga, saya yakin bahwa para guru akan menjadi salah satu penghuninya dalam populasi terbesar.

Tetapi sekolah diam-diam juga meninggalkan kesan yang bagi saya agak mengganggu. Kami biasanya bersorak ketika jam sekolah berakhir. Kegembiraan kami meluap setiap kali seorang guru tak hadir di kelas dan meninggalkan kami tanpa pelajaran - kegembiraan ini kerapkali tidak berkurang sekalipun ketidakhadiran sang guru lantaran yang bersangkutan sakit yang semestinya membuat kami bersedih.

Kami biasanya menghadapi ujian dengan beban yang terasa berat; dan detik berakhirnya ujian seolah saat-saat bersejarah datangnya kemerdekaan. Kami biasa berhamburan keluar kelas ketika jam istirahat datang, seolah pada jam-jam sebelumnya kami disiksa di bawah tekanan.

Manakala ingatan saya panjangkan ke masa-masa di SD, kerap saya merasa tersiksa ketika harus mengarang dengan judul yang seragam. “Berlibur di rumah nenek,” misalnya. Atau ketika mesti menggambar dengan judul yang sudah disamakan untuk semua murid. Seingat saya, ada beberapa kawan yang terkena teguran ketika ia menggambar langit bukan dengan warna biru.

Masih lekat dalam ingatan saya, suasana penuh suka cita yang diperlihatkan ketika kawan-kawan saat lulus SMA. Mereka mengaku “merdeka” karena tak lagi harus berseragam, bebas dari kewajiban upacara setiap senin, dan tak lagi mesti duduk berjejer rapih di kelas, seperti tentara baris, dari pagi hingga siang menjelang petang. Memang pada saat yang sama, sejumlah kawan terlihat biasa saja karena kebingungan tak bisa melanjutkan kuliah sementara lapangan kerja sudah begitu sesak dan kurang membuka pintu bagi mereka yang hanya lulusan SMA.

Menteri Muhaimin Yth.

Saya yakin bahwa pengalaman dan kesan saya itu merupakan pengalaman dan kesan yang umum dirasakan orang di Indonesia. Saya rasa, semua itu menggarisbawahi kegagalan institusi sekolah selama ini.

Sekolah gagal menjadi tempat yang menyenangkan. Sekolah tidak bisa menjadi arena tempat kami memelihara kegembiraan. Bahkan di sekolahlah justru pendidikan terasa menjadi semacam kekangan.

Sekolah juga menjadi tempat penyeragaman. Tempat di mana kami mesti memiliki pikiran seragam tentang banyak hal; terutama sejalan dengan yang dipikirkan guru-guru dan yang dituntun oleh kurikulum yang kaku.

Ketika kekangan dan penyeragaman itu berlangsung begitu sistematis dari tingkat ke tingkat, saya bahkan yakin bahwa sekolah sangat boleh jadi justru menjadi arena pembunuhan kemanusiaan; wahana dehumanisasi. Bagi saya ini amat mengerikan.

Menteri Muhaimin Yth.

Melalui surat ini saya hanya ingin mengingatkan bahwa salah satu pekerjaan besar depertemen yang bapak pimpin adalah meluruskan kembali fungsi sekolah itu. Tentu pak menteri sudah membaca buku termasyhur karya Tetsuko Kuroyanagi, Toto-Chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela.

Ya. Sudah sangat lama saya membayangkan alangkah indahnya jika kita bisa membangun sekolah-sekolah kita seperti Sekolah Tomoe-nya Mr Kobayashi dalam cerita Kuroyanagi itu. Sebuah sekolah yang justru membiarkan energi kreatif anak-anak didiknya terus berkembang dan melimpah. Sekolah yang mengajarkan dan mengasah kasih sayang. Sekolah yang membiarkan siswa-siswanya berkembang dalam kebebasan namun dengan kesadaran yang cukup tentang ketertiban dan tanggung jawab. Dan lebih dari segalanya, sekolah yang mendekatkan anak didiknya pada alam, bahkan belajar dari kearifan-kearifan alam. Sekolah yang mendekatkan guru dan murid-muridnya bukan dalam hierarki tapi kasih. Pendeknya, bukan sekolah-sekolah sebagaimana umumnya di tempat kita, yang tersebar banyak di desa-desa tapi gagal mendidik anak didiknya untuk mencintai desanya beserta sawah, lumpur, dan kegiatan cocok tanamnya.

Menteri Muhaimin Yth.

Salahkah saya memimpikan sekolah yang membebaskan, menanamkan kasih sayang, mengumbar kreativitas anak didiknya, dan mendekatkan diri pada alam seperti itu? Jika boleh saya menjawabnya sendiri, menurut saya impian itu bukan saja tidak salah malah semestinya menjadi agenda kerja kita di bidang pendidikan.

Terlampau lama kita mengukur sukses sekolah dan kegiatan pendidikan di dalamnya dengan ukuran-ukuran fisik yang sangat kosmetik, semacam meja, kursi dan gedung. Terlampau lama kita mengukur sukses pendidikan dengan jumlah lulusan yang dihasilkan, bukan dengan kualifikasi kemanusiaan yang bisa dicapai anak didiknya. Jadilah kemudian sekolah-sekolah yang dihiasi dengan tawuran yang membiarkan anak didiknya merasa gagah karena berhasil melukai bahkan membunuh “saudara-saudara”-nya sendiri.

Menteri Muhaimin Yth.

Tentu sekolah tak bisa dipersalahkan sendirian. Bahkan kita bisa memandang carut marut dunia sekolah itu sebagai produk dari sistem sosial, politik, ekonomi yang memang gemar melakukan dehumanisasi. Sekolah adalah korban. Tapi, manakala tidak ada kesadaran kalangan pendidik dan seluruh pekerja dunia pendidikan untuk meluruskan kekeliruan di dunia sekolah itu, maka kita tak lagi bisa memandang sekolah sebagai korban melainkan sebagai instrumen dari pelanggengan sistem yang keliru. Dalam posisi ini sekolah  bisa menjadi terdakwa dan bukan korban.

Adalah saatnya sekarang kita memulai perubahan secara mendasar dalam pengelolaan pendidikan di sekolah-sekolah. Terus terang, ketika saya mengeluarkan kelimat imperatif ini di sana memang ada bias. Saya ingin anak kami dan kawan-kawan segenerasinya suatu saat tidak lagi menemukan sekolah yang mengekang, membebani, tidak bisa mengembangkan kegembiraan dan kreativitas, kering dari ajaran kasih sayang, dan jauh dari dari alam.

Menteri Muhaimin Yth.

Saya bersyukur ketika anak kami ada dalam usia pendidikan dasar sekarang, saya menemukan Sekolah Alam. Sebuah sekolah yang menyediakan pendidikan untuk tingkat pra-TK, TK, dan SD, di Ciganjur. Inilah sekolah yang saya nilai konsepnya memberikan janji yang cukup besar bagi humanisasi pendidikan. Rasa syukur ini menjadi terasa memilukan ketika kemarin (24/12/99) saya dengar dari para pengelolanya betapa sulitnya memperoleh izin dari departemen Bapak untuk sekolah itu.

Menteri Muhaimin Yth.

Saya tidak ingin mendesak bapak untuk memberikan izin bagi sekolah itu. Saya sendiri tak terlalu mempedulikan soal-soal sepele semacam izin legalitas formal itu. Saya hanya ingin mengungkapkan rasa cemas saya pada dua hal. Pertama, saya khawatir birokratisasi tetap menjadi bagian yang susah diperbaiki di departemen bapak. Kedua, saya sungguh khawatir, respons yang kurang memadai dari departemen yang bapak pimpin merefleksikan belum tumbuhnya kesadaran bagi perbaikan mendasar dunia pendidikan kita. Saya tentu berharap saya keliru dengan dua kekhawatiran itu.

Menteri Muhaimin Yth.

Sekali-kali mainlah ke Sekolah Alam dan melihat sendiri bagaimana konsep pendidikan baru sedang coba dikembangkan oleh kawan-kawan pengelola sekolah itu yang rata-rata usianya masih sangat muda. Saya berharap dari Sekolah Alam di Ciganjur dan sekolah-sekolah sejenis yang ada di tempat-tempat lain, kita bisa mulai menata ulang dunia pendidikan kita.

Saya hanyalah seorang warga negara yang khawatir bahwa sekolah-sekolah yang kita dirikan justru memproduksi - mengutip Kuroyanagi - “orang-orang yang tidak mengerti keindahan walaupun memiliki mata, tidak mendengarkan irama musik walaupun memiliki telinga, tidak memiliki kebenaran walaupun memiliki hati, tidak pernah terharu dan tidak bersemangat”.

Saya yakin bapak menteri memaklumi kelancangan saya.